Aremania Tidak Pernah Belajar dari Tragedi Kanjuruhan

Aremania – Tragedi Kanjuruhan seharusnya menjadi titik balik, bukan sekadar luka kolektif yang cepat dilupakan. Namun apa yang terjadi setelahnya? Seolah tak ada pelajaran yang digenggam erat. Aremania, suporter fanatik Arema FC, kembali membuat ulah. Bahkan di saat luka belum mengering sepenuhnya, atmosfer stadion kembali diwarnai dengan aksi-aksi yang mencoreng makna dukungan.

Sikap tidak acuh terhadap sejarah kelam yang terjadi pada Oktober 2022 justru menggambarkan bahwa sebagian Aremania belum siap untuk berubah. Ratusan nyawa melayang, ribuan luka tertinggal, dan dunia melihat bagaimana sepak bola Indonesia nyaris runtuh. Tapi perilaku kasar, provokatif, bahkan anarkis masih ditemukan di tribun dan luar stadion. Kenapa begitu mudah melupakan penderitaan yang semestinya jadi pelajaran slot server thailand?

Fanatisme Buta: Antara Cinta dan Kekacauan

Aremania di kenal dengan loyalitas yang luar biasa. Namun loyalitas tanpa kendali adalah pisau bermata dua. Di satu sisi mendukung klub, di sisi lain bisa menghancurkan apa pun yang di laluinya. Insiden-insiden terbaru menunjukkan bahwa sebagian kelompok suporter ini masih membawa narasi kekerasan sebagai cara ekspresi.

Alih-alih mengajak damai, sebagian Aremania justru menyalakan kembali api kemarahan. Dari sweeping terhadap suporter tamu hingga pelarangan atribut rival, semua menjadi bukti bahwa nilai sportivitas tidak di junjung tinggi. Lebih parah lagi, ada tindakan yang cenderung mengulang pola lama—emosional, brutal, dan tak bertanggung jawab. Fanatisme seolah di jadikan dalih untuk pembenaran kekerasan.

Di Mana Introspeksi dan Evaluasi?

Pasca tragedi Kanjuruhan, mestinya Aremania berada di garda terdepan untuk perubahan. Tapi evaluasi internal nyaris tak terdengar. Yang lebih sering terjadi justru pembelaan buta, saling menyalahkan, dan penolakan terhadap kritik. Ketika pihak luar berbicara soal etika suporter, sebagian Aremania malah menanggapinya sebagai serangan, bukan ajakan refleksi.

Aremania punya kekuatan besar untuk memengaruhi iklim suporter di Indonesia. Tapi kekuatan itu justru belum di arahkan untuk revolusi budaya suporter. Tidak ada desakan nyata dari internal untuk menghapus kebiasaan lama yang destruktif. Padahal dunia sudah berubah, sepak bola bergerak menuju arah yang lebih humanis. Tapi segelintir Aremania masih tinggal di era barbarisme sepak bola.

Ketika Emosi Mengalahkan Akal

Dalam setiap pertandingan, energi Aremania terasa begitu membara. Sayangnya, energi itu kerap di kendalikan oleh emosi liar, bukan oleh akal sehat. Teriakan dukungan berubah jadi ejekan dan cacian. Koreografi indah di tribun bertransformasi menjadi panggung provokasi. Bahkan insiden pelemparan benda keras masih di temukan, seolah trauma kolektif bangsa belum cukup menyentak.

Apakah ini bentuk cinta pada klub? Atau sekadar hasrat untuk berkuasa di tribun tanpa peduli akibatnya? Ketika suara nyaring lebih keras dari nurani, maka yang lahir bukan solidaritas, tapi dominasi. Aremania harusnya lebih dewasa, karena mereka bukan sekadar kelompok suporter, tapi wajah publik Arema FC.

Peran Klub dan Aparat Tak Bisa Dilepas

Arema FC juga punya andil besar dalam membentuk budaya suporternya. Tapi alih-alih mengedukasi secara masif, langkah-langkah klub justru terkesan setengah hati. Tanpa pembinaan yang konsisten dan tegas, bagaimana mungkin bisa membentuk suporter yang sehat secara emosional?

Aparat keamanan pun tampaknya masih gamang. Takut bertindak tegas karena bayang-bayang tragedi lalu. Tapi ketidaktegasan justru jadi ruang subur bagi aksi-aksi liar. Perlu pendekatan humanis yang cerdas, bukan hanya kekuatan otot atau pembiaran. Kalau tidak, sejarah akan kembali berulang dengan nama dan korban berbeda.

Tragedi Kanjuruhan seharusnya menjadi titik nadir. Tapi jika Aremania masih memilih jalan keras kepala, maka tidak ada yang bisa menjamin peristiwa serupa tak akan datang lagi. Waktu hanya menunggu, dan sejarah hanya akan mencatat siapa yang benar-benar belajar, dan siapa yang kembali jatuh di lubang yang sama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *